Penanganan kasus tuberculosis (TB) pada anak di Indonesia harus dilakukan lebih intensif. Bahkan, terapi awal harus dilakukan secara rutin oleh penderita agar penyakit tersebut tidak berdampak fatal.

Informasi tersebut disampaikan oleh Dokter Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Undip Semarang, M Syarofil Anam. Menurutnya, selama pandemi Covid-19 terjadi penurunan kasus TB anak. Kejadian itu diduga akibat tidak terlaporkan.

“Semua (orang) konsentrasinya pada Covid-19, padahal kematian akibat TB itu tinggi sekali. Risiko pada anak usia di bawah lima tahun, sangat tinggi. Semakin muda (usia) anak maka semakin mudah terkena TB yang berat,” bebernya pada kegiatan Sosialisasi dan Pencegahan TB Pada Anak, di aula Hotel Mandarin, Kota Pekalongan, beberapa waktu lalu.

Dijelaskan, TB berat bisa menyebabkan komplikasi hingga ke otak bahkan kejang. Oleh karena itu, petugas kesehatan diminta bekerja ekstra untuk mencari penderita TB pada anak sedini mungkin.

“Gejala yang timbul pada anak itu, batuk yang lama, berat badan turun meskipun makannya banyak, perilaku anak tidak aktif, dan demam yang cukup lama,” terangnya.

Anam menambahkan, pengobatan bagi penderita TB cenderung lama, minimal enam bulan. Umumnya respons setelah meminum obat tersebut sangat bagus. Selain itu, pencegahan penyakit TB harus dilakukan pada anak yang berkontak langsung dengan orang dewasa penderita TB.

“Terapi untuk pencegahan pakai obat cuma satu jenis selama enam bulan. Kalau buat penderita TB positif obat yang diberikan tiga jenis (obat),” tandasnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Dinas Kesehatan Batang, Ida Susilaksmi menyampaikan, jumlah kasus tuberculosis (TB) pada anak di Indonesia mencapai angka di atas 10 persen.

“Kasus TB pada anak itu 17% dari kasus dewasa. Berdasarkan data dari WHO, tahun 2019 Indonesia menempati peringkat ketiga dan tahun 2020 Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah India. Ini menjadi perhatian kita bersama,” tegasnya.

Lebih lanjut, dia menerangkan, jumlah penderita TB dewasa di Kabupaten Batang tahun 2020, sebanyak 855 kasus. Pada 2021, sejak awal tahun bulan Juni, terdapat 378 kasus TB dewasa.

“Untuk TB anak di tahun 2020 ditemukan 48 kasus. (Jumlahnya) hingga bulan Juni 2021 baru ditemukan 10 kasus TB anak,” bebernya.

Ida menuturkan, jumlah anak yang menjalani terapi Profilaksis masih jauh dari yang diharapkan, yakni 0,02 persen. Padahal dengan imunitas anak yang rendah, sangat berisiko tertular TB dari penderita dewasa.

“Kerentanan untuk tertular sangat tinggi, apabila di dalam rumah dia tinggal bersama orang dewasa yang positif TB. Walaupun gejalanya tidak khas, namun tetap harus dilakukan terapi pencegahan, sebab jika tidak, kemungkinan besar anak akan tertular,” ungkapnya.

Selain itu, sebagian orang juga beranggapan bahwa TB merupakan penyakit yang memalukan. Warga cenderung tidak mengakui apabila dirinya atau anggota keluarganya menderita TB. Terlebih, selama pandemi Covid-19 melanda, masyarakat cenderung enggan memeriksakan kondisi kesehatannya ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).

“Semoga ke depan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya semakin tinggi. Para petugas pun tidak patah semangat untuk melakukan pelacakan pada kasus atau kontak erat TB, sehingga (status) wilayah Zero TB benar-benar terwujud di tahun 2030,” harapnya.

sumber : https://jatengprov.go.id/beritadaerah/minimalkan-risiko-batang-intensifkan-penanganan-tb-pada-anak/